Jika di Singapura Anda menemukan mangga arumanis, mungkin itu adalah mangga asal Probolinggo. Bukan mengada-ada, sebab Suli Artawi telah menjadi “dalang” menjalarnya mangga Probolinggo hingga ke negeri itu.
Suli, warga Kabupaten Probolinggo, itu berprofesi sebagai petani, pedagang, sekaligus eksportir mangga. Sudah delapan tahun terakhir ia mengekspor mangga ke Singapura. Merek dagangnya Sumber Bumi. Namun, tulisan “Mangga Probolinggo” tetap dia pertahankan, mendampingi merek dagang di kardus kemasannya.
“Dari dulu Probolinggo terkenal dengan mangga arumanis. Jadi, brand itu saya pertahankan sekaligus mengenalkannya kepada masyarakat yang lebih luas,” kata Suli di rumahnya di Desa Alaskandang, Kecamatan Besuk, Kabupaten Probolinggo.
Mangga Probolinggo, kata Suli, punya keunggulan dibandingkan mangga dari daerah lain, di antaranya rasa yang manis, tahan lama, dan tekstur dagingnya lembut. Dari tes yang dilakukan importir Jepang, mangga Probolinggo berkadar gula 17, sedangkan mangga Sri Lanka yang dijadikan pembanding kadarnya 14.
Setiap musim panen, Agustus-Desember, Suli mengirim mangga ke Singapura, rata-rata 3 ton per hari. Sebenarnya, permintaan dari importir banyak, tetapi karena kewalahan menyediakan mangga kualitas ekspor dalam jumlah besar, Suli baru memenuhi sebagian.
Volume ekspor mangga Suli baru 20 persen dari total penjualannya dalam setahun, 80 persen sisanya dipasarkan di dalam negeri, seperti Jakarta dan Surabaya (40 persen), Medan (15 persen), serta Samarinda, Pekanbaru, Pontianak, dan Jawa
Timur. Dari 800 ton mangga, omzetnya pada musim panen 2008 sekitar Rp 3 miliar.
Ia dibantu 70 karyawan yang bekerja mulai dari kebun sampai pengemasan. Kebunnya seluas 7 hektar, sedangkan total luas lahan kelompok tani yang didirikannya 64 hektar.
Atas keberhasilannya membudidayakan mangga berkualitas ekspor, kebun Suli dan kelompok taninya menjadi laboratorium terbuka bagi mereka yang ingin belajar. Berbagai kelompok tani dari Jawa Timur, bahkan kelompok tani dari Malaysia, pun datang untuk menimba ilmu.
Pencapaian Suli mendapat pengakuan dari Menteri Pertanian berupa piagam penghargaan atas Prakarsa dan Prestasi Dalam Upaya Pengembangan Komoditas Mangga di Kabupaten Probolinggo. Piagam ini diberikan Menteri Pertanian pada 2006 saat meninjau kebun Suli. Pada 19 Desember 2008, ia kembali menerima penghargaan dari Menteri Pertanian di Jakarta, bersama 15 eksportir hasil pertanian se-Indonesia. Suli menerima penghargaan sebagai Eksportir Hasil Pertanian Berprestasi.
Apa yang dicapai Suli tak datang dengan mudah. Ia perlu 12 tahun jatuh-bangun sebelum menuai kesuksesan. Selepas putus kelas I SMA di Jakarta pada 1974, ia kembali ke kampung halaman, Probolinggo. Pada 1976 ia bekerja menjadi sopir angkutan di Kota Probolinggo.
Profesi itu dilakoni selama dua tahun. Suli lalu melirik usaha berdagang mangga. Inspirasi muncul dari keprihatinannya melihat mangga milik sang kakek ditebas tengkulak dengan harga murah. Pada 1982 ia mulai berdagang mangga dengan sistem konsinyasi. Setiap minggu, ia mengirim mangga setengah truk ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta.
“Saat itu saya masih bujangan, tak punya apa-apa. Untuk modal, saya berutang pada saudara,” kenang Suli. Selama delapan tahun ia menjalankan bisnis mangga. Namun sejatinya, naik-turunnya bisnis mangga Suli pada periode ini berakhir dengan kerugian. Maka, sawah, mobil, dan sepeda motor yang dimilikinya dijual untuk menutupi kerugian. Namun, utangnya masih terserak di mana-mana. Pada 1990 Suli bangkrut. Utangnya menumpuk hingga Rp 100 juta.
Di tengah kekalutan, ia memutuskan berhenti berbisnis mangga. Ia pergi ke Bandung mencari peruntungan baru. Di sini ia bekerja sebagai penjaga malam gudang buah milik seorang juragan di Pasar Ciroyom. Upahnya Rp 20.000 per hari. Dua bulan di Bandung, ia kembali ke Probolinggo karena kangen orangtua. Kembali Suli mencoba berbisnis mangga.
Pada 1991 ia kepincut menjadi aparat dan mencalonkan diri menjadi kepala desa. Tak punya uang, ia berutang tiga sapi. Ternyata Suli kalah. “Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga. Utang saya yang Rp 100 juta dulu belum terbayar, malah bertambah utang tiga sapi,” kenangnya. Satu tahun kemudian, ia menikahi Jumiati. Meski kondisi ekonominya morat-marit, bisnis mangga terus dilakoni. Berbagai upaya dia lakukan, antara lain dengan mengirim mangga kualitas ekspor dengan kemasan kardus. Pada tahun ini pula, Suli menggunakan merek Sumber Bumi.
Tahun 1994, sejumlah pedagang dari Jakarta, Medan, dan Samarinda datang ke rumahnya untuk berbisnis mangga. Usaha Suli mulai menggeliat. Utangnya yang Rp 100 juta dan tiga sapi terbayar lunas pada musim panen tahun ini. Seiring bertambahnya pengiriman mangga, terutama ke Medan, ia mulai mengenal pasar ekspor. Pada 2000 Suli memutuskan untuk mandiri, menembus langsung importir di Singapura.
Awalnya ia mengekspor 2 ton mangga per minggu ke Singapura. Sekarang ekspornya 3 ton per hari atau 21 ton per minggu atau meningkat sekitar sepuluh kali lipat dalam delapan tahun. Bahkan, pada 2009, importir dari China memesan 20 ton mangga per minggu dan importir dari Malaysia 12 ton mangga per minggu.
Suli tak berpendidikan formal pertanian. “Saya belajar cara membudidayakan pohon mangga dari membaca buku dan coba-coba di kebun. Saya ini sekolah di kebun,” kata pria yang lebih senang disebut petani mangga itu. Salah satu temuannya yang tepat guna dan murah adalah cara mengurangi hama lalat buah. Caranya dengan menggantung plastik berisi kapur barus di dahan pohon mangga.
Pergulatannya di kebun membuat dia belakangan ini sering diundang menjadi pembicara dalam seminar soal mangga. Namun, Suli mengaku gamang jika diminta presentasi di gedung atau hotel. “Bagaimana bisa menjelaskan mangga di hotel? Saya lebih senang kalau orang datang ke kebun saya, melihat langsung cara budidayanya,” katanya. Sampai sekarang ia tetap ke kebun. Pada masa perawatan, setengah hari ia habiskan di kebun.
Meski usahanya sukses, Suli belum puas. Mangga yang diekspornya tak semuanya dari Kabupaten Probolinggo. Sebab, stok mangga kualitas ekspor dari kabupaten itu terbatas. Guna memenuhi permintaan, ia berburu mangga dari sejumlah daerah yang mutunya setingkat dengan mangga Probolinggo kualitas ekspor.
Masalahnya, belum banyak petani yang punya kesadaran merawat secara serius pohon mangganya agar menghasilkan buah berkualitas ekspor. Padahal, mangga kualitas ekspor di tingkat petani harga jualnya minimal tiga kali lipat harga lokal.
“Saya mengimpikan, suatu hari nanti mangga yang diekspor semuanya dari Kabupaten Probolinggo,” katanya. Di sisi lain Suli khawatir, suatu hari nanti justru Kabupaten Probolinggo sebagai daerah mangga hanya tinggal nama besar.
Suli, warga Kabupaten Probolinggo, itu berprofesi sebagai petani, pedagang, sekaligus eksportir mangga. Sudah delapan tahun terakhir ia mengekspor mangga ke Singapura. Merek dagangnya Sumber Bumi. Namun, tulisan “Mangga Probolinggo” tetap dia pertahankan, mendampingi merek dagang di kardus kemasannya.
“Dari dulu Probolinggo terkenal dengan mangga arumanis. Jadi, brand itu saya pertahankan sekaligus mengenalkannya kepada masyarakat yang lebih luas,” kata Suli di rumahnya di Desa Alaskandang, Kecamatan Besuk, Kabupaten Probolinggo.
Mangga Probolinggo, kata Suli, punya keunggulan dibandingkan mangga dari daerah lain, di antaranya rasa yang manis, tahan lama, dan tekstur dagingnya lembut. Dari tes yang dilakukan importir Jepang, mangga Probolinggo berkadar gula 17, sedangkan mangga Sri Lanka yang dijadikan pembanding kadarnya 14.
Setiap musim panen, Agustus-Desember, Suli mengirim mangga ke Singapura, rata-rata 3 ton per hari. Sebenarnya, permintaan dari importir banyak, tetapi karena kewalahan menyediakan mangga kualitas ekspor dalam jumlah besar, Suli baru memenuhi sebagian.
Volume ekspor mangga Suli baru 20 persen dari total penjualannya dalam setahun, 80 persen sisanya dipasarkan di dalam negeri, seperti Jakarta dan Surabaya (40 persen), Medan (15 persen), serta Samarinda, Pekanbaru, Pontianak, dan Jawa
Timur. Dari 800 ton mangga, omzetnya pada musim panen 2008 sekitar Rp 3 miliar.
Ia dibantu 70 karyawan yang bekerja mulai dari kebun sampai pengemasan. Kebunnya seluas 7 hektar, sedangkan total luas lahan kelompok tani yang didirikannya 64 hektar.
Atas keberhasilannya membudidayakan mangga berkualitas ekspor, kebun Suli dan kelompok taninya menjadi laboratorium terbuka bagi mereka yang ingin belajar. Berbagai kelompok tani dari Jawa Timur, bahkan kelompok tani dari Malaysia, pun datang untuk menimba ilmu.
Pencapaian Suli mendapat pengakuan dari Menteri Pertanian berupa piagam penghargaan atas Prakarsa dan Prestasi Dalam Upaya Pengembangan Komoditas Mangga di Kabupaten Probolinggo. Piagam ini diberikan Menteri Pertanian pada 2006 saat meninjau kebun Suli. Pada 19 Desember 2008, ia kembali menerima penghargaan dari Menteri Pertanian di Jakarta, bersama 15 eksportir hasil pertanian se-Indonesia. Suli menerima penghargaan sebagai Eksportir Hasil Pertanian Berprestasi.
Apa yang dicapai Suli tak datang dengan mudah. Ia perlu 12 tahun jatuh-bangun sebelum menuai kesuksesan. Selepas putus kelas I SMA di Jakarta pada 1974, ia kembali ke kampung halaman, Probolinggo. Pada 1976 ia bekerja menjadi sopir angkutan di Kota Probolinggo.
Profesi itu dilakoni selama dua tahun. Suli lalu melirik usaha berdagang mangga. Inspirasi muncul dari keprihatinannya melihat mangga milik sang kakek ditebas tengkulak dengan harga murah. Pada 1982 ia mulai berdagang mangga dengan sistem konsinyasi. Setiap minggu, ia mengirim mangga setengah truk ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta.
“Saat itu saya masih bujangan, tak punya apa-apa. Untuk modal, saya berutang pada saudara,” kenang Suli. Selama delapan tahun ia menjalankan bisnis mangga. Namun sejatinya, naik-turunnya bisnis mangga Suli pada periode ini berakhir dengan kerugian. Maka, sawah, mobil, dan sepeda motor yang dimilikinya dijual untuk menutupi kerugian. Namun, utangnya masih terserak di mana-mana. Pada 1990 Suli bangkrut. Utangnya menumpuk hingga Rp 100 juta.
Di tengah kekalutan, ia memutuskan berhenti berbisnis mangga. Ia pergi ke Bandung mencari peruntungan baru. Di sini ia bekerja sebagai penjaga malam gudang buah milik seorang juragan di Pasar Ciroyom. Upahnya Rp 20.000 per hari. Dua bulan di Bandung, ia kembali ke Probolinggo karena kangen orangtua. Kembali Suli mencoba berbisnis mangga.
Pada 1991 ia kepincut menjadi aparat dan mencalonkan diri menjadi kepala desa. Tak punya uang, ia berutang tiga sapi. Ternyata Suli kalah. “Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga. Utang saya yang Rp 100 juta dulu belum terbayar, malah bertambah utang tiga sapi,” kenangnya. Satu tahun kemudian, ia menikahi Jumiati. Meski kondisi ekonominya morat-marit, bisnis mangga terus dilakoni. Berbagai upaya dia lakukan, antara lain dengan mengirim mangga kualitas ekspor dengan kemasan kardus. Pada tahun ini pula, Suli menggunakan merek Sumber Bumi.
Tahun 1994, sejumlah pedagang dari Jakarta, Medan, dan Samarinda datang ke rumahnya untuk berbisnis mangga. Usaha Suli mulai menggeliat. Utangnya yang Rp 100 juta dan tiga sapi terbayar lunas pada musim panen tahun ini. Seiring bertambahnya pengiriman mangga, terutama ke Medan, ia mulai mengenal pasar ekspor. Pada 2000 Suli memutuskan untuk mandiri, menembus langsung importir di Singapura.
Awalnya ia mengekspor 2 ton mangga per minggu ke Singapura. Sekarang ekspornya 3 ton per hari atau 21 ton per minggu atau meningkat sekitar sepuluh kali lipat dalam delapan tahun. Bahkan, pada 2009, importir dari China memesan 20 ton mangga per minggu dan importir dari Malaysia 12 ton mangga per minggu.
Suli tak berpendidikan formal pertanian. “Saya belajar cara membudidayakan pohon mangga dari membaca buku dan coba-coba di kebun. Saya ini sekolah di kebun,” kata pria yang lebih senang disebut petani mangga itu. Salah satu temuannya yang tepat guna dan murah adalah cara mengurangi hama lalat buah. Caranya dengan menggantung plastik berisi kapur barus di dahan pohon mangga.
Pergulatannya di kebun membuat dia belakangan ini sering diundang menjadi pembicara dalam seminar soal mangga. Namun, Suli mengaku gamang jika diminta presentasi di gedung atau hotel. “Bagaimana bisa menjelaskan mangga di hotel? Saya lebih senang kalau orang datang ke kebun saya, melihat langsung cara budidayanya,” katanya. Sampai sekarang ia tetap ke kebun. Pada masa perawatan, setengah hari ia habiskan di kebun.
Meski usahanya sukses, Suli belum puas. Mangga yang diekspornya tak semuanya dari Kabupaten Probolinggo. Sebab, stok mangga kualitas ekspor dari kabupaten itu terbatas. Guna memenuhi permintaan, ia berburu mangga dari sejumlah daerah yang mutunya setingkat dengan mangga Probolinggo kualitas ekspor.
Masalahnya, belum banyak petani yang punya kesadaran merawat secara serius pohon mangganya agar menghasilkan buah berkualitas ekspor. Padahal, mangga kualitas ekspor di tingkat petani harga jualnya minimal tiga kali lipat harga lokal.
“Saya mengimpikan, suatu hari nanti mangga yang diekspor semuanya dari Kabupaten Probolinggo,” katanya. Di sisi lain Suli khawatir, suatu hari nanti justru Kabupaten Probolinggo sebagai daerah mangga hanya tinggal nama besar.
0 komentar